Bagi masyarakat Kedang, Kabupaten
Lembata, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Ebang atau rumah adat khas merupakan
bentuk identitas diri yang tak bisa terpisahkan dari kehidupan masyarakat
Kedang.
Rumah adat lebih khusus rumah adat khas
orang Kedang ini dapat kita jumpai hampir di semua kampung dan desa di wilayah
ini. Hampir di setiap keluarga memiliki bangunan unik berbentuk lonjong bersegi
empat ini.
Ebang memiliki beberapa fungsi baik
sebagai tempat untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan berbagai persoalan juga
sebagai lumbung pangan, tempat untuk menyimpan hasil panen.
Karenanya melalui tempat ini, segala
urusan yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial seperti masalah adat
istiadat mereka selesaikan di tempat ini. Para tetua adat dari suku-suku
setempat datang duduk bersama untuk membahas dan menyelesaikan semua persoalan
secara arif dan bijaksana.
Selain sebagai tempat untuk
bermusyawarah, Ebang berfungsi strategis untuk menyimpan hasil panen. Biasanya,
pangan disimpan di loteng yang terbagi dalam bilik-bilik kamar berukuran kecil
terbuat dari bambu atau papan. Di tempat ini tersimpan berbagai jenis pangan
seperti padi, jagung dan kacang-kacangan.
Keberadaan Ebang sangat penting
terutama di masa-masa sulit atau krisis pangan. Bila krisis pangan terjadi dan
berlangsung lama akibat perubahan iklim atau bencana alam lainnya maka mereka
akan mengambil dari stok pangan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Selain itu, ketersediaan pangan juga sangat berguna untuk membatu
warga lain yang berkekurangan.
Selain sebagai tempat musyawarah, Ebang
juga merupakan simbol perdamaian dan pemersatu keluarga dan masyarakat.
Biasanya, dalam urusan adat, pejabat pemerintah turut diundang hadir untuk
menyaksikan penyelesaian adat oleh para tetua adat. Di tempat ini semua masalah
akan dibicarakan secara terbuka dan dalam suasana kekeluargaan dan
persaudaraan.
Hasil musyawarah akan disampaikan
kepada semua pihak terutama pihak-pihak yang terkait dengan sengketa atau
masalah social itu. Semua persoalan akan diselesaikan secara adil karena semua
pihak akan diperlakukan secara setara, adil dan bermartabat dengan
memperhatikan kepentingan baik korban maupun pelaku.
Di beberapa kampung, hukum dan sanksi
adat masih diberlakukan sehingga membuat warga yang melakukan kejahatan atau
pelanggaran hukum adat akan merasa jerah. Pada umumnya, sanksi adat diberikan
dalam bentuk gong atau gading dengan sejumlah hewan jika masalah tersebut
berkaitan dengan urusan kawin mawin seperti si pemuda menghamili anak gadis
orang lain tetapi tidak mau bertanggung jawab. Atau saksi adat juga bisa
diberikan dalam bentuk sumbangan batu, pasir atau semen untuk pembanguan desa
apabila pelanggaran-pelanggaran tersebut berkaitan dengan masalah pemerintahan
dan kemasyaratan pada umumnya.
Bangunan Ebang biasanya terbuat dari
bahan lokal seperti kayu berbentuk balok atau bambu dengan atap dari rumput
alang-alang. Beberapa tahun belakangan ini, di sejumlah kampung atap Ebang
diganti dengan seng. Bangunan Ebang dilengkapi pula sebuah bale-bale besar, tempat
untuk bermusyawarah.
Bangunan Ebang terdiri dari 4
tiang/tonggak utama dilengkapi dengan lawen (papan berbentuk
bundar) berfungsi untuk menahan hama tikus atau biinatang pengerat lainnya agar
tidak masuk ke dalam lumbung.
Usia bangunan Ebang bisa mencapai
puluhan tahun tergantung dari perawatan. Bila ada kerusakan maka penduduk
setempat secara bergotong royong melakukan perbaikan, entah kerusakan atap atau
pada bagian lainnya. Sifat kegotong royongan di daerah ini masih cukup
terpelihara meskipun perlahan mulai terkikis oleh arus perkembangan zaman.
Ebang meskipun merupakan salah satu
kekhasan masyarakat Kedang, namun keberadaannya selalu dalam bayangan akan
ancaman modernisasi. Karena itu adalah kewajiban semua pihak untuk
menjaga dan merawat tradisi unik ini sebelum hilang ditelan arus perubahan
zaman.
@Muh. Amiruddin
Salem
Sumber: http://www.floresbangkit.com
0 komentar:
Posting Komentar
Thanks Atas Kunjungannya....Kritik & Saran Komentar Disini......